Kamis, 27 Maret 2014

melepasmu membunuhku.

Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan, setiap ada cinta terselip juga patah hati didalamnya, hanya waktu yang mampu menjelaskan kapan semua itu akan tiba.

Mengenalmu tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, menyelami kehidupanmu hingga membuatku asik tenggelam dalam hangatnya kerinduan yang selalu melanda. Tidak mungkin berpura-pura memang begini adanya, menyenangkan sekaligus menggelisahkan.

Rasa nyaman aku dapatkan dari dua sisi yang berbeda. Kamu cuek dan galak, iya. Kamu baik dengan segala perhatian yang tak terduga, juga aku rasakan. Walaupun aku tau tidak hanya kepadaku kamu seperti ini. Kesendirian kamu tidak membuat aku menganggap semuanya hanya untukku. Cukup sadar diri sebelum harapan meninggi yang malah justru menjatuhkan kenyataan sebenarnya.

Kenyamanan yang aku rasakan, jauh lebih berharga dari sebuah kepastian yang pada akhirnya menganggu pikiran. Tentang semua rasa yang tak sanggup terucap, tentang cinta yang datang menghampiri. Kaku lidah tak bertulang ini berbicara, katakan semua titipan Tuhan hingga mengembun di pagi hari bersama indahnya mimpi tentang dirimu.

Selalu yakinkan tak ada yang sempurna, begitupula dengan dirimu. Mencari celah titik kelemahanmu yang mungkin bisa membuatku tak lagi memikirkanmu, yang mungkin sanggup menjauhkan bayangmu dari khayalku. Ternyata tidak, semakin keras aku berusaha malah semakin membuatku menggilaimu, ahh aku cinta kamu.

Mencoba sejenak menepis raut wajahmu yang terbayang, sungguh tak mampu. Memori ini jelas terekam dalam saraf sensorik di otakku, selalu tentangmu. Jika memutar waktu bisa aku lakukan, akan ada satu pilihan untuk tidak mengenalmu, mantap hatiku mengiyakan. Karena pada akhirnya aku sadar satu hal, melepasmu membunuhku.

Selesai...

Minggu, 09 Maret 2014

Beginilah Jadi Supporter Tim Ibukota (Ketika Nila Setitik Rusak Susu Sebelangga)

Minggu 9 Maret 2014, pukul 19.55 saya baru saja tiba dirumah setelah menyaksikan pertandingan sepakbola di Stadion Utama Gelora Bung Karno, antara tim yang sudah saya dukung beberapa tahun terakhir, Persija Jakarta menghadapi tim tamu dari Palembang, Sriwijaya FC.

Hasil akhir memang kurang begitu meyakinkan, setelah Macan Kemayoran berhasil ditahan imbang oleh Laskar Wong Kito 1-1, tapi kali ini saya tidak ingin membahas jalannya pertandingan seperti yang biasa saya tulis sebelumnya.

Yap! Setelah beberes dan waktu sudah senggang, dengan smartphone saya buka akun berkicau 140 karakter yang saya miliki, ada yang menarik perhatian kala melihat update dari salah satu akun resmi institusi pengamanan yang mengabarkan adanya tindak kriminal yang dilakukan segelintir supporter terhadap sebuah kendaraan umum dibilangan Sudirman.

Setelah saya coba scrool akun tersebut, terdapatlah beberapa update yang menggambarkan situasi mulai dari beberapa jam sebelum hingga sesuai pertandingan, dan yang sedikit saya agak terkejut hampir semuanya berbau negatif walaupun mungkin bermaksud bersikap preventif dan tidak mengarah kepada satu golongan supporter (dalam hal ini The Jakmania).

Tetapi tetap saja, karena semua akun twitter yang menjadi pengikut akun berseragam khas coklat tersebut baik yang mengerti ataupun tidak sama sekali mengikuti perkembangan sepakbola sudah pasti mengarahkan "ocehan" kepada suporter yang timnya sore itu bertanding (The Jakmania).

Bukan bermaksud melakukan pembelaan, banyak hal-hal menarik dan positif yang sudah selayaknya dilakukan supporter kala mendukung timnya bertanding dilakukan oleh The Jakmania sore itu, menyanyikan yel-yel dukungan tiada henti, membuat koreografi di tribun, bahkan saya mencatat dipertandingan ini, sama sekali tidak ada nyanyian berbau rasis atau menghujat siapapun. (Mohon koreksi jika salah).

Tidak ingin membandingkan dengan sorotan yang didapatkan supporter lain di kota-kota diluar Jakarta, tapi inilah fakta yang harus kami hadapi setidaknya saya pribadi, ketika sebuah kegiatan yang cenderung negatif menjadi barang laku untuk dipublish, ketimbang sesuatu peristiwa yang terlihat baik namun tidak terekam dan tersebar sama imbangnya dengan hal yang kurang baik.

Selama lambang monas didada masih membalut pakaian 11 pemain terbaik yang dimiliki, maka sudah selayaknya saya, aku, lo, gue, kami, kita akan terus meneriakkan yel-yel kebanggaan tim yang bermarkas di Jakarta. Ibukota negara yang konon lebih kejam daripada Ibu tiri. Kota yang sering di caci maki karena kemacetan, namun tanpa mereka sadari termasuk bagian penyumbang kemacetan itu sendiri. Kota dengan segala sumpah serapah orang-orang yang justru mencari penghidupan disini. Kota yang akan selalu saya pribadi banggakan lahir dan mungkin nanti mati disini.

Selesai....

Minggu, 02 Maret 2014

Rumahku Tak Lagi Jadi Rumahmu

Kita sama-sama mengejar cita dan cinta ya, dikota berbeda untuk kemudian membangun rumah bersama di sini, tempat kita dilahirkan dan sampai nanti kita menutup usia. -Akhir tahun 2010, sebuah SMA Negeri di Jakarta-

Siang itu usai pengumuman kelulusan SMA, di kantin belakang Lea dan Satrio sibuk terdiam dengan minuman masing-masing yang ada di hadapannya, Lea membuka pembicaraan diheningnya mereka berdua, "Kamu mau lanjut kuliah dimana yang? Kata Lea hati-hati, ia tau pertanyaannya memberatkan hati Satrio, pria yang sudah menemani setahun terakhir ini. Karena sebelum pengumuman kelulusan, Lea sudah memastikan diterima di salah satu kampus negeri Surabaya melalui undangan khusus atas capaian prestasi yang diraihnya.

Sambil memandang kerumunan teman-teman lain yang masih berbahagia setelah melihat namanya tercantum dalam daftar kelulusan, Satrio berbicara lemah “Sepertinya aku juga akan meninggalkan Jakarta, meskipun tidak seberuntung kamu bisa melanjutkan kuliah di kampus negeri, setidaknya aku bisa juga meraih cita-cita di kota lain, aku sudah mendaftar di salah satu kampus swasta di Jogjakarta semua sudah beres aku tinggal berangkat saja.

Lagipula jika aku tetap disini aku pasti akan selalu teringat kamu, tempat yang biasa kita habiskan bersama di akhir pekan, lapangan futsal dimana kamu selalu menemani aku saat latihan, jajanan kuliner yang selalu kamu ajak aku untuk menyalurkan hobi makan kamu itu, Lea tertawa kecil mendengarnya.

Sebulan berselang, aku terlebih dahulu meninggalkan Jakarta hanya untuk sesaat tak lama lagi kita akan kembali bersama disini menyongsong hari tua nantinya, janjiku pada Satrio. Sore itu bandara menjadi saksi bisu perpisahan sementara kami, sudah ku coba untuk tidak menangis saat kamu memeluk erat, namun semua itu tak tertahankan buliran air mata membasahi kemeja yang aku berikan sebagai hadiah ulang tahunmu. Cukup lama aku terbenam dalam hangatnya tubuhmu, sampai suara pengumuman pesawat akan segera takeoff memaksa Satrio melepaskan pelukan dan berucap “Hati-hati disana, jaga semua yang kita sudah miliki selama ini. Aku sayang kamu, tak lupa mengecup kening Lea.”

Satrio segera meninggalkan tempat dimana dia sempat mematung sekian menit saat melepaskan kepergian kekasih hati. Sejujurnya dia benci dengan namanya perpisahan walaupun itu hanya sementara, berat memang namun dirinya sadari hanya ini jalan yang harus dilalui, itupun jika memang masih ingin menjalani hubungan ini.

Awalnya semua berjalan indah, seperti penganut hubungan jarak jauh pada umumnya, kedua sejoli ini rutin melakukan komunikasi, bertukar cerita apa yang mereka jalani, tak terhitung berapa pulsa mereka habiskan hanya untuk bisa mendengar suara pujaan hati.

Fasilitas teknologi video call melalui skype pun mereka manfaatkan agar bisa melihat perkembangan terbaru dari pasangannya, “Kamu kok semakin kurus yang, sengaja diet atau gmana? Lea terheran melihat pacarnya terlihat berat badannya jauh berbeda sejak pertemuan terakhir tiga bulan lalu di bandara saat mengantar dirinya. Mendengar pacarnya mengeluh manja seperti itu, Satrio menjelaskan “Makan aku masih normal seperti biasa kok yang, tapi aktifitas di kampus memang super padat ditambah lagi hobi futsal yang rutin aku mainkan juga disini jadi ya seperti kamu liat saat ini, turun 2 kg, seraya tersenyum manis sekali malam itu".

Kesibukan masing-masing jugalah yang beberapa kali mewarnai pertengkaran kami, bumbu dalam suatu hubungan yang suatu waktu bisa menjadi racun jika dihidangkan secara berlebihan. Tanpa aku sadari bergabungnya diriku dalam organisasi kampus cukup menyita waktu, sebagai junior sering kali aku diberikan tanggung jawab membantu banyak acara baik itu internal maupun eksternal kampus tak luput aku kerjakan. Diluar jam kuliah yang sudah padat merayap layaknya kota Pahlawan yang macetnya tak berbeda jauh dengan Jakarta.

Kangen, cemburu, egois, curiga berlebihan, marah-marah tidak jelas menjadi santapan yang harus kami cicipi dalam semester pertama hubungan LDR ini. Puncaknya terjadi saat Lea merasakan perubahan drastis dari Satrio, tak lagi perhatian, sering tidak ada kabar, berbohong untuk hal yang sepele, keadaan yang membuat Lea sempat kefikiran hingga jatuh sakit dan dirawat. Tidak mau situasi ini semakin berlarut Lea berinisiatif mencari tau apa yang sebenarnya terjadi dengan Satrio. Bayangan hadirnya wanita lain dalam situasi seperti ini ditepiskan jauh-jauh olehnya, Satrio yang dikenalnya tak mungkin melakukan hal bodoh itu, Lea membesarkan dan meyakinkan hatinya.

Libur semester bertepatan dengan seminggu menjelang ramadhan mereka pulang, kembali bersama bertemu melepas rindu walaupun mereka sadari akan terpisahkan lagi. Waktu yang sedikit ini Lea dan Satrio manfaatkan untuk saling menguatkan cinta mereka yang sempat hambar. Semua berjalan normal apa adanya sampai seusai lebaran mereka kembali berkutat dengan kesibukan, terpisah jarak.

Dalam pertemuan itu terucap semua hal yang mereka alami di perantauan. Disitu juga terungkap Satrio dengan jujur mengatakan bahwa ada seorang wanitanya yang rutin menemani dirinya beraktifitas di kota pelajar itu. Dengan penjelasan yang menyejukan dan menyakinkan Lea, wanita bernama Indri diakui Satrio hanya sebatas teman, kamu enggak usah khawatir ya sayang. Senyum sungging membentuk di kedua pipi Lea mendengar semua yang diceritakan Satrio, termasuk keberadaan Indri disampingnya, "Makasih sayang, kamu udah jujur menjelaskan apa yang terjadi, enggak ada satu alasan pun buat aku untuk tidak percaya kamu". Pelukan terakhir sore itu dirumah Lea sebelum mereka kembali rutinitas masing-masing, dengan pagar pembatas berupa jarak.

Akhirnya semua terjadi juga, hal yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benak Lea, coba menepiskan semua ketakutan itu, mengelakan keraguan atas apa yang baru di sadarinya sebelum mendengar penjelasan langsung dari Satrio. Social media yang seharusnya bisa menjadi perantara hubungan terpisah jarak, justru malah menjadi jalan pembuka Lea melihat apa yang Satrio lakukan disaat tak bersamanya. Sempat tak ingin percayai ini semua, karena keyakinan aku kepadamu yang sangat tinggi. Namun seiring waktu dan apa yang aku temui dan ku ketahui. Salah satunya melalui akun twitter kamu, bermain api dibelakang aku, selingkuh dengan wanita yang pernah kamu ceritakan saat perjumpaan terakhir kita. Iya, aku melihat foto mesra kamu dengan Indri wanita yang kamu yakini kepadaku hanya teman, dan aku percayai itu.

Waktu 6 bulan sejak pertama kali aku melihat sesuatu yang tidak beres cukup buat aku meyakinkan bahwa hubungan ini memang tak layak dipertahankan, penjelasan kamu pun tak menyiratkan semua pembenaran atas apa yang telah terjadi. Tepat sehari sebelum ulang tahun bunda, tiga hari sebelum seharusnya kita 30 bulan bersama, apa yang pernah jadi mimpi bersama, janji setia, kasih, cinta dan sayang yang sering kita katakan di hari itu semua berakhir. Lea masih mengingatnya bahkan hingga hari ini, sudah 6 bulan berlalu padahal.

Terpuruk dalam sedih, menangis sampai habis air mata ini sempat menjadi rutinitas Lea sekian bulan setelah Satrio meninggalkan pergi bersama orang lain, melupakanmu mungkin mudah, tapi tidak dengan kenangan yang pernah kita lalui bersama. Bukan bermaksud kepedeaan, semenjak aku berstatus single sudah tak terhitung banyaknya lelaki yang berusaha mendapatkan hati aku, tapi aku tak bergeming. "Memang ku akui tidak mudah untuk menerima semua yang datang memberikan sejuta cintanya,"lirih Lea tegar mengucap.

Hingga hari ini, aku masih sendiri menjalani seluruh aktifitas seorang diri, menyibukkan diri dengan kuliah dan menjalin pertemanan dengan siapa saja. Jangan kau kira aku seperti ini berarti aku tak bisa bangkit dari kepedihan, tidak! Lebih hanya ingin menikmati kesendirian, entah sampai kapan. Mungkin sampai nanti saat pangeran cinta datang dengan segenap hati membuka pintu rumah ini.

Rumahku yang sudah kosong, rumah yang sempat menjadi tempat kamu berteduh melepas peluh, rumah yang dulu sangat hangat oleh pelukanmu, tapi kini tak akan pernah lagi menjadi rumahmu.